Jakarta (ANTARA) – Pulau Nusakambangan dikenal sebagai salah satu wilayah tahanan paling misterius sekaligus sarat sejarah di Indonesia.
Terletak di pesisir selatan Jawa Tengah, pulau ini menjadi lokasi sejumlah lembaga pemasyarakatan yang menampung narapidana dengan kasus-kasus berat.
Jika Amerika Serikat memiliki Alcatraz, maka Indonesia memiliki Nusakambangan—pulau yang dijuluki “Pulau Penjara” karena tingkat keamanannya yang sangat ketat dan suasananya yang penuh aura misteri.
Lokasi Pulau Nusakambangan
Pulau Nusakambangan berada di wilayah Kelurahan Tambakreja, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, dengan luas mencapai sekitar 121.000 hektare.
Pulau ini dikelilingi hutan tropis lebat dan Laut Selatan yang dikenal memiliki ombak besar. Kondisi geografis tersebut menjadi lokasi ideal bagi lembaga pemasyarakatan dengan sistem pengamanan berlapis.
Akses menuju pulau ini juga sangat terbatas. Satu-satunya jalur resmi adalah penyeberangan dari Pelabuhan Wijayapura di Cilacap menuju Pelabuhan Sodong di Nusakambangan menggunakan kapal milik Kementerian Hukum dan HAM.
Penyeberangan itu hanya diperuntukkan bagi petugas pemasyarakatan, pegawai lapas, keluarga penghuni lapas, serta pemindahan narapidana. Masyarakat umum tidak dapat masuk tanpa izin khusus dari pihak berwenang.
Dengan sistem keamanan berlapis dan letak yang terisolasi, para narapidana yang ditempatkan di sana nyaris tidak memiliki peluang untuk melarikan diri.
Sejarah menjadi pulau penjara
Nusakambangan telah digunakan sebagai tempat penahanan sejak masa kolonial Belanda. Sebelumnya, tempat ini ditetapkan oleh orang Belanda sebagai monumen alam karena nilai alamnya yang tinggi.
Pada 1905, pemerintah Hindia Belanda mengubah penetapan pulau ini menjadi kawasan terlarang dan lokasi pengasingan bagi pelaku kejahatan berat.
Tiga tahun kemudian, dibangun Lapas Permisan yang menjadi lembaga pemasyarakatan pertama di pulau tersebut.
Pada tahun 1920-an, pemerintah kolonial memperluas kompleks pemasyarakatan dengan mendirikan beberapa lapas baru, seperti Lapas Batu pada 1925 dan Lapas Besi pada 1929.
Saat Indonesia dinyatakan merdeka, keberadaan Nusakambangan pun tetap dipertahankan sebagai tempat pembinaan narapidana yang berisiko tinggi.
Tahun 1950, pemerintah mendirikan Lapas Kembang Kuning, diikuti kebijakan tahun 1983 yang menetapkan Nusakambangan sebagai lokasi khusus bagi narapidana yang sulit dibina di lapas lain.
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, pulau ini juga digunakan untuk menahan para tahanan politik, termasuk mereka yang terlibat dalam gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Kini, keberadaan Nusakambangan diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 35 Tahun 2018 tentang Revitalisasi Pemasyarakatan, yang menjelaskan fungsinya sebagai pusat pembinaan narapidana di Indonesia.
Klasifikasi lapas di Nusakambangan
Pulau Nusakambangan memiliki 12 lembaga pemasyarakatan dengan empat kategori tingkat keamanan, yakni:
- Super Maximum Security: Lapas Batu, Lapas Kelas IIA Karanganyar, dan Lapas Kelas IIA Pasir Putih.
- Maximum Security: Lapas Besi, Lapas Narkotika Nusakambangan, Lapas Gladakan, dan Lapas Ngaseman.
- Medium Security: Lapas Permisan, Lapas Kembang Kuning, dan Lapas Kumbang.
- Minimum Security: Lapas Terbuka Nusakambangan dan Lapas Nirbaya.
Lapas dengan pengamanan super maksimum menampung narapidana dengan risiko tinggi, termasuk mereka yang menjalani hukuman mati atau seumur hidup dan menerapkan sistem one man one cell, yaitu satu narapidana dalam satu sel khusus dengan pengawasan kamera selama 24 jam.
Sosok narapidana ternama yang pernah ditahan
Sebagian besar penghuni Nusakambangan merupakan narapidana dengan vonis berat, seperti bandar narkoba internasional, pelaku pembunuhan berantai, dan teroris.
Salah satu narapidana yang baru dipindahkan ke Nusakambangan adalah aktor Ammar Zoni, yang menjalani hukuman atas kasus penyalahgunaan dan peredaran narkoba.
Ammar ditempatkan di Lapas Karanganyar bersama lima narapidana berisiko tinggi lainnya, setelah dipindahkan dari Rutan Salemba, Jakarta, pada Kamis (16/10).
Dalam sejarahnya, sejumlah tokoh pernah menjalani hukuman di pulau ini di antaranya Tommy Soeharto, terpidana kasus pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita, tiga pelaku Bom Bali 2002, yakni Amrozi, Mukhlas, dan Imam Samudra yang dieksekusi mati di Bukit Nirbaya, serta dua warga negara Australia, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran dari kasus Bali Nine.
Nama lainnya ada Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar Indonesia yang sempat ditahan karena keterlibatannya dalam organisasi yang berafiliasi dengan PKI.
Selain itu, ada pula Umar Patek, pelaku terorisme, serta Johny Indo, mantan perampok toko emas yang dijatuhi hukuman 14 tahun penjara.
Meski dikenal sebagai “Pulau Penjara”, pemerintah berupaya menjadikan Nusakambangan sebagai lokasi pembinaan dan rehabilitasi narapidana.
Melalui berbagai program keterampilan, para warga binaan diberi kesempatan untuk berlatih dan bekerja. Beberapa kegiatan pembinaan yang berjalan antara lain, peternakan ayam dan kambing, pertanian, perikanan, kerajinan tangan, pembuatan batik, bakery, serta pondok pesantren.
Tujuan kegiatan ini agar para narapidana memiliki kemampuan produktif yang dapat digunakan setelah mereka bebas nanti.
Pendekatan ini juga menjadi bagian dari upaya Kementerian Hukum dan HAM untuk mengubah citra Nusakambangan. Dari yang semula identik dengan tempat hukuman keras, menjadi pusat pembinaan yang menyeimbangkan aspek keamanan dan kemanusiaan.
Baca juga: Ammar Zoni tempati sel di Lapas Karanganyar Nusakambangan
Baca juga: Puluhan napi berisiko tinggi asal Jakarta dipindah ke Nusakambangan
Baca juga: Ditjenpas Bali pindahkan 27 narapidana risiko tinggi ke Nusakambangan
Pewarta: Putri Atika Chairulia
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.